Candi
Pari dan Candi Sumur
ASAL USUL CANDI PARI DAN CANDI SUMUR
Pada jaman dahulu kala seorang tua bernama Kyai Gede Penanggungan yang hidup di
pegunungan , ia mempunyai adik perempuan janda bertempat tinggal di desa
Injingan, Kyai Gede Penanggungan mempunyai 2 anak perempuan, yang sulung
bernama Nyai loro Walang Sangit dan yang bungsu bernama Nyai Loro Walang angin,
keduanya berdiam dirumah Kyai Gede Penanggungan. Sedangkan adiknya janda
Ijingan mempunyai seorang anak laki laki bernama Jaka Walang Tinunu, setelah
dewasa ia amat tampan dan hormat kepada ibunya.
Pada suatu hari ia menanyakan pada ibunya siapakah ayahnya, tetapi ibunya tidak
mau menjawab dan hanya berkata , “ Kamu tidak punya ayah tetapi Kyai Gede
Penanggungan adalah kakak saya. Kemudian Jaka Walang Tinunu minta ijin pada
ibunya membuka hutan untuk tempat tinggal dan penggarapan sawah. Permintaannya
dikabulkan oleh ibunya , maka berangkatlah Jaka Walang Tinunu disertai dua
orang temannya yaitu Satim dan Sabalong untuk menuju ke dukuh Kedungkras ( desa
Kesambi sekarang ), setelah menetap disana tanpa suatu rintangan apapun, mereka
mulai membabat rimba di Kedung Soko arah utara Kedungkras dan arah selatan
Candi Pari.
Beberapa waktu kemudian pada suatu malam teman teman Jaka Walang Tinunu
dengan sepengetahuannya memasang wuwu di Kali Kedung Soko. Esok harinya wuwu
diambil dan ternyata berhasil menangkap seekor ikan Kotok yang dinamakan Deleg.
Betapa gembiranya si Sabalong lalu ditunjukkan kepada Jaka Walang Tinunu dan
Satim. Setelah ikan dipotong dan dimasak, tetapi ajaibnya ikan dapat berbicara
seperti manusia dan menerangkan bahwa ia sebenarnya bukan ikan, tapi seorang
manusia. Bahwa dulu ia bernama Sapu Angin yang mengabdi pada pertapa dari
gunung Pamucangan dan ia berdosa pada pertapa itu karena pernah mempunyai
keinginan untuk menjadi raja. Dan ia diperkenankan menjadi raja ikan, dengan
demikian berubahlah ia menjadi Deleg sampai detik masuk ke wuwu. Waktu
mendengar riwayat Deleg itu maka terharulah Jaka Walang Tinunu dan berkata “
Barang siapa berasal dari manusia kembalilah menjadi manusia “ dan seketika itu
ikan Deleg berubah menjadi manusia yang hampir setampan dengan Jaka Walang
Tinunu, lalu diberi nama Jaka Pandelegan dan dianggap adik dari Jaka Walang
Tinunu.
Demikianlah lalu mereka bersama sama membuka tanah dan setiap hari mengolah
tanah untuk lahan pertanian. Kemudian Jaka Walang Tinunu memikirkan soal bibit,
tetapi menemui jalan buntu, sebab dia sangat miskin tidak punya apa apa untuk
membeli keperluan menggarap sawah. Tapi tiba tiba ia ingat apa yang dikatakan
ibunya dulu, tentang Kyai Gede Penanggungan, tetapi ia tak berani menyampaikan
isi hatinya kepada Kyai Gede Penanggungan, Maka permohonannya tentang bibit
padi disampaikan kepada Nyi Gede yang selanjutnya disampaikan pada suaminya,
namun Kyai Gede tak percaya bahwa bibit itu akan dipergunakan untuk bersawah.
Sebaliknya kedua putrinya waktu kedatangan Jaka Walang Tinunu dan Jaka
Pandelegan asmara didada mulai tumbuh melihat kesopanan dan ketampanan kedua
pemuda itu. Baru pertama kali kedua gadis tersebut melihat pemuda yang begitu
sopan dan tampan.
Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan sangat kecewa karena permohonannya tidak
dikabulkan, hanya diberi Mendang yang apabila disebarkan tidak akan tumbuh.
Lalu kedua putrinya disuruh untuk mengambilkan Mendang tersebut, Karena kedua
putrinya menaruh hati maka kesempatan ini tidak disia siakan untuk mencampur
bibit padi dengan Mendang yang akan diberikan itu.Lalu diserahkan kepada dua
pemuda itu dan Kyai Gede Penanggungan mengatakan “ itulah bibitnya “
Setelah menerima Mendang 1 karung mereka mohon diri. Kedua putrinya sudah
terlanjur mencintainya maka keduanya mohon ijin kepada orang tuanya untuk ikut
dengan kedua pemuda itu, tetapi tidak diperkenankan, Akhirnya kedua putrinya
hanya memesan kepada kedua pemuda itu agar saat menanam padi untuk memberitahu
kepada Kyai Gede Penanggungan.
Setibanya dirumah secepatnya Mendang
tersebut disebarkan disawah dengan mendapat ejekan dari Sabalong dan Satim,
karena yang disebarkan itu tidak mungkin dapat tumbuh, Namun demikian Jaka
Pandelegan dan Jaka Walang Tinunu percaya apa yang diucapkan oleh Kyai Gede
Penanggungan tersebut.
Ternyata tumbuhnya sangat baik benar benar seperti bibit sesungguhnya. Waktu
pemindahan tanaman tiba Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan datang lagi pada
Kyai Gede untuk mohon ijin agar kedua putrinya membantu menanam padi. Tetapi
tidak dikabulkan oleh Kyai Gede malah marah dengan dalih bahwa kedua putrinya
akan dipinang oleh Raja Blambangan , padahal keduanya sudah sama sama mencintai
, lalu kedua pemuda itu kembali pulang. Dan diam diam kedua putri Kyai Gede
melarikan diri menyusul , Nyai Loro Walang Angin ingin jadi isterinya Jaka
Pandelegan dan Nyai Loro Walang Sangit ingin jadi isterinya Jaka Walang Tinunu.
Akhirnya keduanya dapat bertemu dengan pemuda itu ditengah jalan yang
selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Kedung Soko.
Setelah Nyai Gede mengetahui kedua
putrinya tidak ada lalu memberitaukan kepada Kyai Gede, lalu mengejar kedua
putrinya dipaksa untuk kembali kerumah, tetapi ditolaknya. Sedangkan kedua
pemuda itu tidak menghiraukannya karena kedua anaknya ikut atas kemauannya
sendiri. Maka terjadilah suatu pertengkaran yang berakhir dengan kekalahan di
pihak Kyai Gede, sehingga terpaksa pulang kembali tanpa disertai kedua
putrinya.Sedangkan mereka berempat kembali melanjutkan perjalanan kembali ke
Kedung Soko.
Waktu tanaman berusia 45 hari sawah kekurangan air sehingga Jaka Walang Tinunu
menyuruh Jaka Pandelegan menyelidiki air. Ketika sampai ditengah sawah
berpapasan dengan seorang tua yang memerintahkan agar Jaka Pandelegan
menghentikan perjalanannya , yang menyebabkan dia murka. Saat ia akan membunuh
orang tua tersebut lalu ia jatuh pingsan. Ketika sadar sangatlah takut dan
menanyakan tentang namanya. Lalu orang tua tersebut menjawab “ Namaku Nabi
Kilir” pelindung semua air. Kemudian orang tua itu memberikan nama kepada
Jaka Pandelegan dengan nama Dukut Banyu, lalu berkata “Kalau kamu sudah selesai
bertanam adakanlah selamatan apabila sawahmu berhasil dengan baik” Setelah itu
orang tua menghilang. Waktu Jaka Pandelegan datang kembali kesawahnya ternyata
sudah penuh dengan air yang melimpah sampai panen tiba.
Menurut “Shohibul Hikayat” tentang pemotongan Padi karena luasnya sawah dan
baiknya jenis tanaman maka orang dari segala penjuru datang untuk ikut derep
(memotong padi) tersebut. Juga diceritakan bahwa bagian muka dipotong bagian
belakang yang baru saja dipotong sudah kelihatan ada tanaman padi yang sudah
menguning, sehingga tidak ada habis habisnya. Adapun hasil panenan ditumpuk di
penangan, Justru penangan tersebut tepat di tempat Candi Pari sekarang ini. Dan
betapa banyaknya padi di penangan itu
Sementara kerajaan Majapahit mengalami paceklik.Pertanian gagal banyak petani
sakit. Lumbung padi dalam keraton yang biasanya penuh menjadi kosong, karena
luasnya sawah yang kena penyakit dan gagal panen. Ketika Prabu Brawijaya
mendengar bahwa di Kedung Soko berdiam seorang yang arif yang memiliki banyak
padi. Maka diperintahkan kepada Patihnya untuk meminta penyerahan padi dan
dibawakan perahu lewat sungai arah tengara Kedung Soko.Akhirnya Jaka Walang
Tinunu bersedia untuk menyerahkan padinya kepada utusan sang Prabu, dan padi
padi tersebut diangkut ke tebing sungai dan selanjutnya dimuatkan pada perahu
perahu itu, walaupun berapa banyak perahu yang disediakan, namun padi yang
disediakan di tebing tetap tidak muat sehingga tempat tersebut dinamakan desa
Pamotan, Lalu padi dipersembahkan pada sang Prabu Brawijaya yang diterima
dengan suka cita . Lalu sang Prabu menanyakan kepada sang Patih siapakah
pemilik padi itu ? Maka sang Patih menjawabnya bahwa yang memiliki padi itu
bernama “Jaka Walang Tinunu” anak seorang janda Ijingan.
Maka teringat oleh sang Prabu bahwa baginda pernah berhubungan dengan Nyai
Rondo dimaksud, tetapi itu semua disimpan dalam hati dan menitahkan Sang Patih
untuk memanggil Jaka Walang Tinunu beserta isterinya. Kemudian keduanya
menghadap Sang Prabu . Setelah diamat amati ternyata benar bahwa Jaka Walang
Tinunu adalah putra Sang Prabu.
Selanjutnya Sang Prabu mengutus untuk memanggil Jaka Pandelegan beserta
isterinya dengan maksud akan dinaikkan pangkat derajatnya. Dan apabila mereka
tidak bersedia supaya dipaksa tanpa menimbulkan cidera pada badannya bahkan
jangan sampai menyebabkan kerusakan pada pakaiannya, Selanjutnya pula Sang
Prabu menanyakan siapakah temannya yang bernama Jaka Pandelegan itu. Lalu Jaka
Walang Tinunu menjawab bahwa Jaka Pandelegan yang dianggap sebagai adiknya itu
adalah berasal dari ikan Deleg.
Sebelum perintah raja itu disampaikan kepadanya, Jaka Pandelegan sudah
merasa akan mendapat panggilan akan tetapi panggilan tersebut tidak akan
dipenuhi, hal tersebut sudah dipertimbangkan dengan isterinya.
Ketika Patih datang menyampaikan
panggilan ia menolak, sekalipun dipaksa tetap membangkang yang selanjutnya
menyembunyikan diri di tengah tengah tumpukan padi pada penangan itu. Dan
sewaktu sang Patih berusaha untuk menangkap dan mengepung tempat itu, maka Jaka
Pandelegan menghilang tanpa bekas. Setelah menghilangnya sang suami, Nyai Loro
Walang Angin yang membawa kendi berpapasan dengan patih disuatu tempat, sewaktu
akan ditangkap berkatalah ia “Biarlah saya terlebih dahulu mengisi kendi ini
disebelah barat daya penangan itu” Dan saat tiba disebelah timur Sumur, maka
hilanglah istri Jaka Pandelegan itu.
Setelah suami isteri itu hilang Sang Patih pulang kembali untuk melaporkan
peristiwa itu kepada Sang Prabu. Mendengar kejadian itu Baginda sangat kagum
atas kecekatan Jaka Pandelegan dan isterinya itu. Yang akhirnya Sang Prabu
Brawijaya mengeluarkan perintah mendirikan dua buah candi untuk mengenang peristiwa
hilangnya suami isteri itu. Maka didirikanlah dua buah candi, yang satu
didirikan dimana Jaka Pandelegan hilang yang diberi nama CANDI PARI , sedangkan
candi yang satunya didirikan ditempat dimana bekas Nyai Loro Walang Angin
menghilang dengan diberi nama CANDI SUMUR.
Dan kedua candi itu baru dibangun
pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk kira kira pada tahun 1371
Masehi. Demikian cerita singkat asal usul berdirinya kedua candi yang terletak
di desa Candipari Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo.
Candi Pari
Candi Sumur
Keterangan candi pari
Candi pari terletak : dusun candi
pari
: kecamatan porong
: kabupaten Sidoarjo
Berdiri di atas tanah seluas : 1.310 m2
Pada ketinggian : 4,42 m
Latar belakang sejarah :
Penelitian dan publikasi sejarah tentang
candi pari baik berupa tulisan maupun foto sudah lama di terbikan oleh sarjana
– sarjana belanda :
1) Hageman di dalam TBG II tahun
1854.
2) P.j. veth. Java tahun 1878
3) JLA, Brandes .ROC tahun 1903.
4) J. Knebel, ROC tahun 1905/1906.
5) FDK Bosh .ROD tahun 1915.
6) Verbek mengadakan infentaris
tahun 1889 – 1891.
7) NJ Krom dalam buku “ INLEJDING
TOT DE HINDOE – JAVA ASCH KUNST 1923 “
NJ Krom berpendapat, bahwa gaya
arsitektur candi Pari mendapet pengaruh Campa khususnya dengan candi-candi di
Mison.
Pengaruh
ini nampak pada bangunan dan ornamen, mamun demikian candi Pari tetap
menunjukkan karakter Indonesia. Untuk mendukung pendapatnya NJ Krom menyebutkan
hubungan antara Indonesia dengan Canpa di suatu daerah di Vietnam sekarang ini
sumber tertulis menunjukkan bahea hubungan dagang dengan Indonesia dengan Campa
sudah terjalin sejak prasejarah,hal ini berdasarkan penemuan Nekara-Nekara
perunggu gaya Dong San di pulau Jawa. Pada masa klasik hubungan dagang makin
meningkat lagi. Sumber prasati dari periode Jawa Tengah, sedangkan sumber
tertulis dari jaman Islam menyebutkan pengungsian orang-orang Islam Campa ke
Jawa Timur pada abat XV masehi. Terdapat dalam hikayat Hassanudin (Jan Endel
1983 ) dankitap sejarah Melayu (Situmorang dan Tecwu 1952) peristiwa tersebut
terjadi setelah jatuhnya pemerintahan Raja Pan Kubah akibat serangan Raja Koci.
Yaitu pengusiran orang-orang Campa ke Jawa karna kestabilitas di negri Campa
tidak aman konsekuensilogisnya di sediakan tempat untuk Raja Campa dan pengikutnya
dan akhirnya asamulasi tersebut tampak pada bangunan Candi Pari, yaitu bangunan
suci berkarakter Jawa yang di pengarui kesenian Campa.
Latar
belakan cerita rakyat : candi Pari oleh masyarakat di lambangkan dengan dongeng
sebagai peringatan hilangnya Jaka Pandelegan.
Pendirian candi Pari
Di atas pintu candi di pahatkan
angka tahun 1293 saka (1371 M) dengan demikian candi pari di dirikan pada masa
kejayaan kerajaan majapahit pada masa pemerintahan raja hayam wuruk.
Adapun ciri – ciri campa pada
hubungan candi pari justru menunjukan tingginya toleransi di bidang kebudayaan
pada waktu itu.
Latar belakang keagamaan :
Di dalam ROD tahun 1915 di sebutkan
bahwa candi pari dan desa di sekitarnya pernah di temukan 2 arca siwa Mahadewa
,2 Arca Agastya, tujuh arca Ganessa dan tiga arca budha.yang semuanya di simpan
di museum nasional jakarta. Latar belakang keagamaan Cand Pari bersifat Hindu.
Hal ini di tunjukan adanya relief SANKHADI candi pari yang merupakan atribut
dalam agama hindu.
Arsitektur Bangunan :
Candi pari di bangun menghadap ke
barat dengan ukuran :
PanjangØ : 13,55 M
LebarØ : 13,40 M
TinggiØ : 13,80 M
Terbuat dari batu bata,sedangkan
ombang atas bawah pintu masuk bilik candi menggunakan batu andesit. Secara
arsutektural candi pari mempunyai perbedaan dengan candi – candi lainya di jawa
timur. Perbedaan ini nampak pada benntuk fisik candi pari yang agak tambun dan
kokoh seperti candi – candi di jawa tengah. Sedangkan candi di jawa timur
berbentuk ramping. Selain itu perbedaan nampak pada bentuk kaki candi. Badan
1. Kaki candi
Kaki candi pari bertingkat dua,
yaitukaki candi atas dan kaki candi bawah, dengan istilah Batur.
a. Kaki candi 1 (batur) berdenah
empat bujur sangkar dengan ukuran :
Panjang : 13,55 M
Lebar :13,40 M
Tinggi : 1,50 M
Terdapat dua jalan masuk ke bilik
candi. Kedua jalan tersebut merupakan trap /susunan anak tangga dengan araah
selatan utara dan utara selatan. Jalan masuk seperti itu tidak di temui pada
candi – candi di jawa timur. Susunan bata – bata kedua anak tangga itu masih asli.
Tetapi kondosinya sudah aus dan pipi tangga dalam keadaan rusak. Pada bidang
atasnya silasar selebar 1,70 M.
b. Kaki Candi II.berdenah bujur
sangkar dengan ukuran :
Panjang : 10 M
Lebar : 10 M
Tinggi : 1,95 M
Pada salah satu sisi terdapat tangga
naika ke bilik candi, tangga naik tersebut merupakan susunan baru dengan
menggunakan batu lama. Pada bagian dinding candi telah mengalami konsolidasi
pada zaman kolonial belanda.
e
2. Badan candi
Badan berbentuk
bujur sangkar berukuran panjang 7,80 m, lebar 7,80m, tinggi 6,30 m, pintu masuk
berbentuk segi empat ukuran pnjang 2,90 m, lebar 1,23 m, dan tebal 1m dengan
tujuh buah doorple salah satunya terbuat dari batu adesit dengan pahat angka
tahun 1293 saka ( 1371 M ) dan hiasan bwerbentuk segi tiga. Ambang atas pintu
masuk ini pernah mengalami konsolidasi pada zaman kolonial belanda, yaitu di
beri enam kayu balok jati. Tetapi setelah pada tahunn 1994 – 1999 di ganti
dengan batu adesit sebanyak tujuh buah . profil batu candi yang masih tampak
jelas yaitu profil bagan badan pada bagian atas, berupa sebuah bentuk sisi
genta dengan lilis polos. Sedang di tengah dinding badan lainya terdapat
pahatan berupa miniatur candi. Dengan hiasan bunga teratai dan rangka. Di kanan
kiri pahatan miniatur candi mempunyai lubang angin sebanyak enam buah.
3. bilik candi
Sebagian lantai
candi merupakan tanah baru dengan menggunakan batu lama. Susunan lantai asli
masih tampak di sudut barat daya dan sudut bart laut bilik candi. Di dalam
bilik candi saat ini sudah tidak ada arcanya lagi ,akan tetapi di bagian
dinnding timur ( antara lubang angin) terdapat sebuah tonjolan sebagai sandaran
arca, ukuran bilik candi 6x6 m.
4. Atap candi
Atap candi
sebagian besar telah runtuh, dengan ukuran panjang 7,80 m, lebar 7,80 m, dan
tinggi 4,05 m. Hiasan yang masih tampak pada dinding atap berupa hiasan menara
– menara panjang sudah tidak lengkap lagi. Antefik yang terlihat samar – samar
serta hiasan binatang bertangga panjang ,keadaan sudah aus.
Ornamen :
Candi pari
tidak punya ornamen. Pada kaki candi I (Batur) terdapat hiasan berbentuk
semacam panel yang polos tanpa hiasan . sedangkan kaki II di tengah-tengah
terdapat pahatan berbentuk seperti alas arca atau candi tanpa atap. Pada tubuh
candi terdapat pahatan semacam panel-panel besar polos besar tanpa hiadan. Di
dinding barat terpat di atas pintu masuk terdapat hiasan segi tiga sama sisi,
bagian kecilnya berada di atas. Pada bagian dinding utaara timur dan selatan
terdapat hiasan miniatur yang atapnya bertinggkat lima dengan puncaknya ada
hiasan angka candi pari yang kita lihat saat ini hasil pemugaran tahun 1994 s.d
1999 oleh Kanwil DepDikBud dan Suaka peninggalan sejarah dan Purbakala Jatim
melalui dana proyek pelestarian / pemanfaatan peninggalan sejarah dan Purbakala
Jatim.
1 komentar:
Lengkap kali ,makasih kakk:)
Posting Komentar